Kehidupan terus berjalan, terkadang mudah, tak jarang sulit. Waktu berlalu terus menerus seperti penggerus yang tanpa ampun. Usahakan selalu menghadapi hidup dengan penuh rasa syukur.
Aktivitas rumahan memang amat sangat banyak. Kadang tak memberi ruang bagi kita untuk sekadar menikmati waktu. Satu tugas disusul tugas yang lan.
Di satu sisi, harapan sedemikian besar, di sisi lain, orangtua tidak mampu mengimbangi. Ibaratnya ingin membentuk anak disiplin namun orangtua belum mampu mendisiplinkan diri sendiri. Akibatnya anak akan menjadi bingung karena kadang A bisa menjadi B atau C.
Hal-hal semacam ini kerap terjadi. Cukup merata di masyarakat. Kita harus memotong polanya.
Hal-hal kecil yang dilakukan oleh orangtua, baik sengaja atau tidak, bisa menjadi sumber luka hati anak. Bisa menjadi penyebab trauma masa kecil.
Berikut 5 penyebab paling umum dan paling sering ditemui:
1. Mengancam anak
Salah satu kebiasaan jelek yang saya lakukan berkali-kali adalah mengancam anak. Ini hanya untuk si kecil 3 tahun yang sangat eksploratif. Dia masih sulit ditertibkan.
"Ayo masuk, pintu mau Mama tutup!" seru saya sesekali ketika si kecil hujan-hujanan di depan rumah atau bermain air di kamar mandi belakang.
Kelihatannya sepele, namun jika terlanjur terbiasa, maka kalimat ancaman akan dijadikan solusi. Menjadi mudah sekali keluar dari mulut. Bisa dibayangkan saat kebiasaan ini sedemikian melekat, maka ancaman akan semakin dahsyat.
2. Mengatai ia anak bodoh
Pernah satu masa, saya amat sangat marah. Setidaknya, itu yang saya rasakan. Saya ingin meredakan uap panas yang sudah naik sampai atas telinga, dan tanpa sadar mulut saya mengatakan, "bodoh!"
Umpatan itu membuat saya langsung tersadar. Rasanya ingin segera berlari memeluk anak sambil meminta maaf, namun bisa ditahan. Malamnya saja, sambil memberi anak sesuatu yang disukai dan mengajaknya bicara panjang lebar.
Itu cara saya membasuh luka setelah menorehkannya. Tidak langsung.
Mengatai anak bodoh bisa membuat anak percaya bahwa dirinya memang demikian. Implikasinya bisa ke mana-mana dan mengerikan sekali.
3. Membandingkan dengan anak lainnya
4. Memforsir anak terus belajar
Anak adalah homo luden yang memang suka bermain. Kita semua manusia memang homo luden. Jadi bukan anak saja. Bermain juga cara anak belajar.
Banyak orangtua dengan ketakutannya akan masa depan anak lalu memforsir anak agar mau belajar melebihi kemampuannya. Anak hanya belajar dan belajar, tak ada waktu bermain dengan teman.
Anak mungkin berhasil menjadi juara kelas, menjadi yang terbaik prestasi belajarnya, namun jiwanya kosong. Lama kemudian, mungkin ia akan merasakan depresi yang berkepanjangan.
Posting Komentar
Posting Komentar